PLAKK !! Orang itu menamparku begitu aku mengulurkan gelas
padanya, berharap dia memberikanku sebagian kecil dari uang yang dimilikinya.
Tubuhku limbung dan mendarat di atas tanah becek dengan telak. Seakan setiap
tulang dalam tubuhku remuk, sudah tiada tenaga upaya untukku duduk. Lemah
menerpa aspal. Bagai tak kupunya lagi berat pada ragaku. Tak puas, laki-laki
yang mengendarai sepeda motor itu kembali membuatku seakan mau mati saat dia
melayangkan kakinya ke tubuhku dengan kuat. Aku terbatuk. Aku menatapnya dengan
nanar. Merasakan betapa sakitnya tulang rusukku ditendang olehnya. Dia
mengumpat sesaat sebelum akhirnya dia menyalakan kembali mesin motornya dan
melaju tanpa menghiraukan tatapan ngeri dari pengendara sepeda motor lain.
Kebanyakan dari mereka menatapku kasihan, tapi sebagian lagi menatapku tak acuh
atau bahkan setuju dengan perlakuan laki-laki jahat tadi padaku.
Aku masih tergeletak di atas tanah becek ini dengan nafas
terengah-engah. Sakit. Haus. Lapar. Aku mengerjapkan mata dengan lemas,
berharap apa yang kurasakan segera hilang dari tubuhku. Aku menghembuskan nafas
untuk ke sekian kalinya dan segera berdiri dengan tubuh letih dan ringkih.
Sedangkan gelas plastik yang tergenggam di tanganku masih kosong tanpa uang
sesenpun. Bagaimana aku bisa membeli sesuap nasi hari ini apabila uang saja aku
tak miliki? hanya gelas kosong ini yang selalu menemaniku menjalani hari demi
hari dalam kehidupan yang penuh dengan kekejaman ini. Aku sekarang mulai
menyesali kenapa dulu aku pindah ke Ibukota ini dengan harapan akan mendapatkan
pekerjaan dengan mudah dan layak? Di mana keadilan yang selalu diumbar para
pemimpin dan penguasa? tiada keadilan bagi orang miskin sepertiku. tidak pernah
ada.
Seorang pengemis lain yang kukenal, berjalan pelan ke arahku.
Menatapku, tapi seperti tidak padaku, ia berjalan terseok, tapi seperti tidak
ke arahku. Ia tak ingin menangkap pandanganku, ada rasa iba yang luar biasa
dari sorot matanya. Tak ia hiraukan pula orang-orang yang menghindarinya karena
bau tubuhnya, ia berjalan menatap lurus entah ke mana. “Tak apa?” tanyanya
sembari duduk di tepi trotoar. Di sampingku. Ia menggenggam erat gelas aqua-nya
yang hampir terisi penuh, menaruhnya di sela-sela kedua pahanya dan mulai
mengambil satu persatu uang di dalamnya. Aku tersenyum getir. Entah apakah
senyumku terlihat seperti sebuah senyuman atau seringaian. Aku bersandar pada
batas trotoar jalan dengan nafas tertahan. “Seperti yang kau lihat..” aku
menghembuskan nafas berat setelah kurasakan punggungku menyentuh pinggiran
trotoar. Ia memasukkan uang-uang dari gelas plastiknya dalam saku celana kumuhnya.
“Entah harus berapa kali aku harus begini.. rupanya aku ini pelampiasan kesal
orang-orang ini..” kutatap sekilas orang-orang yang berlalu lalang di depan
maupun di belakang kami. Aku terbatuk lagi. “Sudah tahu begitu, ini Jakarta..”
tuturnya, “..bukan Banyuwangi yang masih asri!” ia mengosongkan lagi gelas
plastiknya. Berharap akan ada lagi orang-orang yang akan mengisi gelas itu
kini. Tukang becak di samping kami mulai membuka mulutnya untuk menarik
penumpang, terjadi tawar-menawar antara mereka dan disepakatilah sebuah harga
yang menguntungkan keduanya. Atau bagi tukang becak itu ‘daripada tidak sama
sekali’. “Kau mau jadi tukang becak?” tanyanya mengikuti arus pandanganku. Aku
memalingkan wajah dari tukang becak yang telah mengayuh pedalnya bersama seorang
ibu dengan segala barang belanjanya. Aku memperbaiki letak dudukku yang terasa
kurang nyaman karena becek. Habis sudah bajuku kini semakin terlihat kumuh dari
sebelumnya, bercak tanah becek ini terlihat seperti kotoran sapi. Aku
menghembuskan nafas lagi. Berat. “Apa yang bisa kukayuh dari tubuh ringkih
ini?” aku terbatuk mengatakannya. Aku tidak ingat sejak kapan tiap kali aku
bernafas terdengar suara tipis melengking dari dalam dadaku. “Duduk saja
rasanya sudah seperti mau mati..” ia tertawa pelan. “Apa yang bisa kita miliki?
Tidak ada.. punya tubuh saja itu sudah untung, tapi mungkin bagimu lebih baik
mati daripada hidup begini..” “Kau tahulah apa yang ku mau, hidup seperti ini
sudah seperti ‘hidup segan mati tak mau’, tapi apa yang bisa kupertanggungjawabkan
pada Tuhanku jika aku mati nanti?” terlintas dalam benakku mengenai hal itu. “Tuhan?”
Ia lagi-lagi tertawa, kali ini lebih panjang dari yang tadi. “Sejak kapan kau
punya pikiran ini? Orang miskin macam kita ini tak pantas memikirkan Tuhan!
Sudah sudah, bisa kabur orang yang mengasihaniku nanti jika aku terus tertawa
begini!” ia menghentikan tawanya, berubah lagi mimiknya jadi murung dan kiranya
pantas dikasihani. “Jika mau mati tinggal mati.. tak usah memikirkan Tuhan
segala macam! Tuhan saja tidak pernah memikirkan kita, ngapain kita memikirkan
Dia?” “Tapi masih ingat aku, Ji.. dulu bapakku bacakan hal-hal tentang itu,
rasanya usiaku tak akan berlanjut lagi habis ini..” “Ya kita proteslah pada tuh
Tuhan, kenapa membuat kita jadi pengemis begini? Aku heran banyak orang ke
masjid atau ke gereja.. apa yang mereka lakukan di dalamnya? Berdoa seperti
akan ada yang dengar saja! Tak adalah Tuhan macam itu!” “Dosa kau, Ji! Ngomong
seperti itu!” “Sudah, sudah! Gila rupanya kau sudah!” ia memotong ucapanku dengan
ekspresi yang masih belum berubah. Rupanya serius benar dia mempraktekkan wajah
malas ala pengemis. Berpengalaman benar dia. “Aku ke sana, sudah ramai di pasar
itu, kalau kau mau di sini, sinilah.. jaga jangan sampai rusak tubuhmu yang
tinggal kulit itu!” ia menepuk dadaku, setelah mengatakannya ia beranjak pergi
dari tepi trotoar. Melangkah terseok ke keramaian dan hilang sebelum aku
mendengar lagi suara melengking yang datang dari udara yang kuhirup.
“Ini..” sebuah tangan kecil tiba-tiba terjulur ke arahku
sedetik setelah aku berhasil duduk dengan susah payah di tepi trotoar untuk
menghindari becek yang sudah mulai mengering di bajuku. Aku mendongak dan
melihat seorang anak kecil dengan malu-malu memasukkan uang 20.000-an ke dalam
gelas usangku. Dia tersenyum polos sambil memeluk kaki ibunya yang tersenyum
melihat tingkah putrinya. Kemudian, mereka berdua melanjutkan perjalanan entah
ke mana. Anak kecil manis itu sempat menoleh dan melambaikan tangan padaku dengan
lucu. Aku tersenyum sedih. “Terima kasih..”, ucapku tanpa suara. Menyedihkan
memang terlihat tak berguna di depan seorang anak kecil yang belum mengetahui
kejamnya dunia, tapi aku bersyukur karena aku masih bisa makan hari ini.
Ternyata, menjadi pengemis adalah hal yang menyusahkan dan hina. Meskipun
begitu, sudah kujalani ini selama 1 tahun belakangan yang menyiksa. Menunggu
belas kasihan orang, mendahkan tangan, dengan wajah menekuk di sana sini.
Memang akan masih ada yang mengasihi, tapi banyak pula yang
mencemooh diri atau seperti orang tadi, menendangku yang hampir tanpa nyawa
lagi ini. Semangat hidup sudah tak kumiliki, mungkin nanti gadis kecil itu akan
mengerti, jangan sekali-kali mencoba menjadi seperti ini, sungguh kini aku
percaya bahwa bekerja sekalipun itu pengais sampah jauhlah lebih membanggakan
diri ketimbang menjadi pengemis begini.
Aku sendiri merasakan, lebih baik memberi daripada meminta
agar dikasihani. Jika bisa, aku ingin membuka usaha atau sejenisnya, tapi sudah
tak bisa lagi. Usiaku telah dimakan rayap renta, tapi apalah yang kupunya.
Seorang keluarga pun tidak tahu di mana, saling meninggalkan yang lainnya
karena malu pada kondisi keluarga yang tak punya apa-apa, tanpa apa-apa. Tiba-tiba
perutku terasa sangat nyeri. Aku mendekap erat perutku sambil meringis sakit.
Tak kusangka perutku akan menjadi seperih ini saat tak kuisi dengan apapun
selama 2 hari. Sengaja kusisakan sebagian uang yang kudapat berhari-hari agar
aku bisa pulang ke Banyuwangi. Setidaknya aku ingin mati di sana, tempat
kelahiranku sendiri. Kuraba kembali perutku yang tak mampu berkompromi lagi,
nafasku sesak karena seakan seluruh organku ingin segera bebas dari
ketersiksaan ini. Kepalaku mulai terasa pusing dan berkunang-kunang. Terasa
berat sangat menegakkan kepadaku kembali. Aku tidak tahu apa yang sedang
terjadi. Nafasku perlahan memburu dan hampir tak bisa lagi kuraup udara yang
tak berbayar ini. Bahkan hal yang diberi cuma-cuma ini pun tak mampu kubeli
dengan raga yang ringkih. Yang jelas seakan aku sudah tidak mampu duduk lagi. Setiap
persendianku seakan hilang terhapus sakit di perutku yang melilit. Aku
menggigit bibir saat tubuhku terlena ke tanah untuk ke sekian kalinya. Kepalaku
ikut terbentur aspal saat tubuhku terbanting keras. Mataku berkunang-kunang dan
tubuhku seperti melayang. Sedangkan sakit di perutku ini membuatku semakin
merasa telah hilang entah ke mana. Aku menatap pandangan aneh beberapa pejalan
kaki dengan mata yang meredup pelan. Aku mati? Apakah sudah waktuku pergi?
Kenapa sakit sekali? Kuremas dengan sisa tenaga, gelas berisi uang 20 ribu yang
terkurung seorang diri. Jika ini waktuku kembali, aku pinta pada Tuhanku untuk
terakhir kali. Bawa amal yang kupunya, tinggalkan amal yang sempat kutinggal
karena bekerja. Sebab kini aku melihat siksa diri menanti karena aku lalai
diri. Sesaat kemudian, semuanya menjadi gelap dan tak kurasakan lagi sakit pada
sekujur diri.
Karangan
: Ratu Juwita
Tidak ada komentar:
Posting Komentar