Gorden putih yang menutupi setengah dari ventilasi yang
terbuka itu, membuat cahaya matahari pagi masuk memancarkan sinarnya, hingga
meronakan wajahku yang kuning langsat ini. Kehangatannya terlalu dalam untuk
dihayati, lalu terbesit dalam hati untuk memejamkan mata sambil berusaha
menerka-nerka. Hujan memang baru saja berakhir, lalu pelangi secara beriringan
memadu warna di langit dan ditambah dengan pemandangan danau di tepi taman yang
bisa kulihat dibalik ventilasi yang setengah terbuka ini. Sungguh membuatku
merasa sangat nyaman, betul-betul nyaman. Namun semua kenyamanan itu sirna,
ketika aku tersadar, hari itu aku hanya bisa berbaring menyelimuti diri dan
terkadang meringis sakit karena bekas luka yang ada di dahiku. Entah apa yang
terjadi. Dua hari yang lalu aku baru tersadar, aku sudah dalam keadaan yang
tidak layak untuk dikatakan sehat di Rumah Sakit yang menurutku mewah dan aku
pun lupa. Lupa, lupa semuanya. Memori yang teringat hanyalah ilmu-ilmu pasti
yang sepertinya pernah kupelajari. Bahkan, aku lupa namaku dan di mana alamatku
sekarang.
“Nabila, sayang.” Lagi-lagi perempuan paruh baya yang mengaku
ibuku itu memanggilku dengan sapaan itu. Seperti biasa, setelah Ia memanggilku,
Ia membantu tubuhku yang lemas ini untuk terbangun atau lebih tepatnya duduk
lalu mengusap-usap pipiku. Aku hanya bisa termangu melihatnya yang selalu
tersenyum syahdu kepadaku, namun Ia tak bisa menyembunyikan gurat kesedihan di
wajahnya yang keriput itu. Tapi ada hal yang ingin aku ketahui darinya, karena
sepertinya ada sesuatu hal yang sedang disembunyikan dari ku.
“Nabila, ayo makan.. Mama belikan bubur kesukaan kamu.”
Ucapnya dengan senyum sumringah. “Bubur kesukaanku? Bubur ini lagi..” “Iya, ini
bubur kesukaanmu, ayo makan lagi.” “Hmm Ma.. Aku tidak merasakan kenikmatan
memakan bubur ini lagi semenjak kemarin. Aku rasa indra perasaanku sudah mulai
tidak peka dengan makanan enak. Entahlah.. Ma.” Wajahnya langsung tertunduk
kaku dengan penuh kebingungan. Lalu ia merogoh-rogoh tas belanjaannya dan
mencari-cari sesuatu yang hendak ia ambil. Ah, sebenarnya apa yang terjadi
dengan semua ini. Apakah aku bukan anaknya? Lalu mengapa ia sangat menyayangiku?
Apa yang sedang ia sembunyikan? Aku mengalihkan pandanganku kembali pada
ventilasi yang setengah terbuka itu dan kembali menerka-nerka. Ada satu
keinginan yang tiba-tiba saja muncul, yaitu keinginan untuk bertemu dengan
seseorang. Aku tidak tahu dia siapa, tetapi entah mengapa aku sangat
merindukannya. Apakah ayahku? Sepertinya kurang tepat.
“Oh ini Nabila, ada apel, kamu sukakan?” Tegur ibuku kembali
dengan sumringah sambil menyuguhkannya tepat di depan wajahku. Seketika
pandanganku langsung tertuju padanya. Apel merah itu terlihat sangat segar
namun aku seperti tak ada gairah untuk memakannya. “Aku mau pulang saja Ma,
bertemu ayah, dan siapa pun yang bisa kutemui” jawabku dengan menatap mata
ibuku dengan lekat-lekat. “Tok tok tok” bunyi ketukan pintu kamar ini,
mengalihkan perhatian kami berdua. Ibuku langsung berdiri dan dengan cepat
melangkah perlahan-lahan ke arah pintu dan membukanya, lalu menutupnya kembali.
Dari kaca buram pintu itu, aku melihat ibuku bersama dengan seorang pria. Tidak
terlalu jelas, mereka seperti membincangkan banyak hal. “Mungkin dokter atau
petugas kebersihan di Rumah Sakit ini.” Pikirku. Tak beberapa lama kemudian
ibuku kemudian masuk kembali, lalu membuat segumpalan plastik berisi di sudut
kamar ini.
“Itu apa Ma?” Tanyaku penasaran. “Sampah nak, tadi ada di
depan kamar, mama buang saja. Petugas kebersihannya tak becus.” “Oh begitu..”
kataku dengan nada datar dan sedikit mengangguk. Setelah berjam-jam aku
berbincang-bincang dengan Ibu, Ia berniat untuk pulang, dengan alasan masih
banyak kerjaan rumahnya yang menumpuk. Lalu ia langsung memalingkan tubuhnya
dari ku. “Kapan-kapan ajak papa ya ma, aku mau melihatnya.” Ia memberhentikan
langkahnya, dan berkata “Iya nak..” dengan tanpa menoleh ke arahku sedikit pun
dan Ia langsung bergegas pergi.
Setelah ia pulang, hawa sepi kembali menggerogotiku. Walaupun
kehadiran Ibuku tak serta merta membuatku nyaman, namun setidaknya Ia selalu
berusaha menemani hari-hariku. Aku mendongakkan kepalaku seraya memejamkan
mata. Lalu aku tiba-tiba tersentak dengan pikiran sampah yang tadi Ibuku buang.
Aku mengalihkan perhatianku pada tempat sampah itu. Karena rasa penasaran itu,
aku berusaha bangun, bukan hanya duduk tetapi berdiri bahkan berjalan dengan
tertatih menuju tempat sampah itu. Ketika kubuka tutup tempat sampah itu,
ternyata buntelan plastik itu masih ada dan utuh. Aku mengambilnya dan
membukanya, tak kusangka itu adalah sebuah nasi bungkus. Kubuka karetnya, lalu
bungkus kertas nasinya. Ternyata, itu sebuah nasi uduk dengan iringan lauk ayam
goreng dan lalapan yang wangi sekali. Entah mengapa aku berniat untuk
mencicipinya. Aku mengambil sesuap nasi itu dengan tanganku, dan menyuapi
sendiri ke mulutku. Sungguh enak, aku seperti pernah memakannya, aku sangat
menyukainya. Tak sadar aku sudah menghabiskan semua isi di bungkusan itu.
Setelah habis, aku buang kertas nasi bekas dan plastik itu ke tempat sampah.
Ketika plastik itu terbuang, tiba-tiba ada secarik kertas terlipat yang
terjatuh ke lantai. Tanpa pikir panjang aku langsung mengambilnya lalu membuka
lipatannya. Aku melihat sebuah tulisan, “Selamat makan, sayang.. ini makanan
kesukaanmu.” Apakah ini dari ibu? Tapi tidak mungkin, ibu bilang makanan
kesukaanku bubur. Oh tapi bisa jadi ia mempunya banyak pilihan makanan untukku
yang Ia pikir aku tak suka.
Seminggu telah berlalu dan aku juga belum pernah menemui
ayahku. Ibu mengajakku untuk pulang dan berjanji akan mempertemukan aku dengan
ayahku. Di dalam mobil, aku hanya terdiam menunggu-nunggu untuk sampai ke
rumah. Aku hanya ingin mencari tahu siapa orang yang sebenarnya ingin kutemui.
Ayahku atau orang lain. Ketika sampai, aku melihat sekeliling perkebunan dan
rumah yang sepertinya sudah familier, namun sepertinya aku tak menjamin
kenyamanannya. “Itu papamu nak”. Aku melihat seorang laki-laki tua di depan
rumahku dan langsung memelukku erat. Aku senang, namun sepertinya perhatianku
tidak tertuju padanya. Aku kembali frustrasi dengan keingintahuanku itu.
Jam sudah menunjukkan pukul delapan malam. Hujan belum juga
berhenti. Aku duduk di ruang tamu, sambil menonton tv. Kusenderkan bahuku ke
sofa, lalu kualihkan kembali perhatianku pada jendela yang setengah terbuka di
samping pintu masuk. Aku melihat sosok seorang pemuda, berdiri di depan pagar
rumahku, berbolak balik dan keliatan agaknya mencurigakan. Karena aku takut,
kuurungkan niatku untuk memenuhi rasa penasaranku. Aku langsung berlari masuk
ke kamar dan menutup diri dengan selimut yang ada di tempat tidurku. Ketika
kurebahkan tubuhku ke tempat tidur, di samping bantalku terdapat sebuah tas jinjing
yang kotor seperti sehabis terlindas ban mobil besar. Di dalamnya terdapat
handphone, dan dompet. Aku buka dompet itu dan berusaha mencari tahu. Foto yang
tertera di dompet itu adalah jelas fotoku dan berarti tas ini adalah milikku.
Ada juga gumpalan kertas yang seperti habis diremas-remas. Kubuka
perlahan-lahan kertas itu dan tertera tulisan “SURAT PHK” dan ada nama “Hadi
Purnama.” Ah mengapa aku memiliki perasaan cemas, kepalaku langsung sakit dan
tak kuasa menahan air mata. Terlintas bayangan samar-samar seorang laki-laki,
ia tersenyum. Oh tiba-tiba terbayang wajah ibu dan ayah yang sedang bertengkar.
Ah, ada apa ini?!! Tangisanku langsung pecah. Sepanjang malam aku hanya
menangis memeluk tas kotorku itu.
Jam sudah menunjukkan jam 12 malam dan hujan masih awet, masih
nyaman untuk terus jatuh lalu menggenangi jalanan. Aku tak mengerti jalan
hidupku, aku ingin pergi dari rumah ini karena yang ada di pikiranku adalah
agar aku bisa bertemu dengan orang yang bernama Hadi Purnama. Aku pergi
diam-diam dari rumahku tanpa arah dan tujuan lalu menangis tersedu-sedu di
jalan seperti orang tak waras. Tiba-tiba aku lemas tak berdaya lalu terbaring
begitu saja di jalanan, dibaluti oleh guyuran hujan dan genangan air.
Suara kicauan burung membangunkan tidurku. Tiba-tiba aku sudah
berada di tempat tidur dan ada suguhan nasi uduk dan ayam serta lalapan wangi
di samping tempat tidurku. Aku hampir mengingat suasana ini, kamar yang ada
sekarang. Kembali aku dikagetkan dengan pintu kamar yang terbuka oleh seorang
pemuda. Ya, pemuda itu adalah yang orang yang kulihat bolak-balik malam kemarin
di rumahku. Dia… dia adalah… dia adalah.. aku berusaha mengingatnya. Ia
menatapku lekat-lekat dan mengusap-usap pipiku. Tangisku kembali pecah dan aku
langsung memeluknya erat. “I Love You Hadi, maafkan aku..” itu yang aku ucapkan
pertama kali padanya karena tak lain Ia adalah suamiku. Aku ingat, bagaimana Ia
begitu menyayangiku selama setahun ini. Dan aku juga ingat bagaimana keadaan
pada saat suamiku di PHK oleh kantornya. Ketika aku tahu kabar PHK itu, aku
langsung meremas kertas itu dan memeluknya sambil mengatakan bahwa jangan
pernah takut karena aku akan selalu bersamanya. Namun, agaknya tak seperti itu
yang di pikiran ibuku. Ia menyuruhku untuk menceraikan suamiku, dan melarang aku
untuk kembali tinggal bersamanya. Aku juga ingat, bagaimana keadaan keluargaku
pada saat-saat ibu dan ayahku bercerai 2 tahun yang lalu. Ibu sangat membenci
Ayahku. “Makasih ya sayang, kamu masih mengingatnya..” ucapnya lalu mengecup keningku.
“Sayang, mengapa tak kau jenguk aku selama di rumah sakit?” “Mamamu.. mamamu
yang tak memperbolehkan aku untuk..” Ia berhenti berucap, seperti menahan
pedihnya sesuatu yang tertancap di hatinya. “Aku tahu aku tahu sayang..” ucapku
seraya kembali menenangkannya, dan merebahkan dirinya di pangkuanku. Aku
kembali memeluknya erat, aku sangat menyayangi suamiku dan aku takkan pernah
meninggalkannya dalam keadaan apapun. “Aku pikir kamu mati dalam kecelakaan itu
Nabila..” Aku hanya terdiam dalam dekapannya sambil terus menangis mendengar
ucapannya itu.
Ternyata orang yang kucari itu adalah suamiku. Mungkin karena
aku sangat mencintainya, dalam keadaan amnesia pun aku tetap merindukan
keberadaannya.
Karangan
: Annisa Shabrina
Tidak ada komentar:
Posting Komentar