Pagi ini terasa dingin. angin di luar sana enggan bersahabat
denganku, tapi mentari mulai mengajakku untuk keluar rumah. ku ambil termometer
yang sedari tadi menempel di bibirku, aaahh.. masih 38 derajat, lumayanlah dari
pada tak menurun sedikit pun. angin di luar sana mengajakku untuk bermain,
mereka masuk lewat jendela. adduuuhh.. dingin sekali.
Pintu kamarku terbuka dan datanglah sosok bidadari yang
membawakanku kehangatan. dia adalah ibuku, ya.. tentu saja. selama satu minggu
ini aku terbaring di tempat tidurku dan ibukulah yang selalu mengurusiku dengan
penuh kesabaran. I Love My Mom.
“Selamat pagi putriku, Bagaimana suhunya? sudah turun?” Ibu
memulai percakapan dan meletakkan makanan di meja belajarku. “(Tersenyum) sudah
turun bu, kemarin kan 39 sekarang sudah 38.” “Alhamdulillah.. ibu senang
mendengarnya, sekarang putri makan dulu yah!” Ibu menyuapiku
Putri, yah itulah nama panggilanku dari namaku Amiranda Putri
Annisa. Aku terlahir dengan sehat, tapi ketika usiaku menginjak 17 tahun sakit
itu mulai menyerangku. aku menderita penyakit medis Palpitasi atau istilah
lainnya adalah detak jantung yang abnormal, kadang jantungku berdetak sangat
kencang dan terkadang juga detak jantungku berdetak sangat lambat. Tapi
meskipun detak jantung yang abnormal aku tidak mau aktivitasku terhambat, ya..
semasih bisa aku berdiri kenapa tidak. sekarang aku berusia 19 tahun dengan
penyakit yang masih bertahan di badanku. So no problem.
Langkah kaki terdengar sangat jelas di luar sana, aku tahu itu
pasti ayah. My Dad Is Super Hero, ayahku selalu mengusahakan pengobatan untuk
kesembuhanku. Ayah rela pulang malam untuk dana pengobatanku yang tak cukup
dengan uang seratus dua ratus ribu. Bukan hanya obat yang harus ayah beli
untukku, tapi biaya terapi pun ayah harus memikirkannya, Aku terkadang berpikir
semua terlalu berfokus padaku, sedangkan adikku dan kakakku pun harus
diperhatikan.
“Ayah berangkat kerja dulu yah.” Ayah berpamitan pada ibu. “Iya
ayah, hati-hati di jalan, Assalamualaikum.” Ibu mencium tangan dan kening ayah
“Waalaikumsalam, cepat sembuh Put.” Ayah tersenyum dan membelai keningku
hari itu entah kenapa aku tidak mau ayah pergi dari ku, aku
ingin sekali mengecup kening ayah. Tapi hari ini ayah menerima tamu dari Singapura
di kantornya.
“Ayah..!” Aku merubah posisiku dari mulanya berbaring menjadi
duduk. “Iya Put?” Ayah menoleh ke arahku “Tidak apa-apa yah, aku hanya ingin
bilang, hati-hati di jalan.” “Iya sayang.” Ayah mengecup keningku
Ya Allah, baru kali ini aku mendengar kata sayang lagi dari
ayah, ingin sekali aku membalas kecupan ayahku. tapi tiba-tiba HP ayahku
berdering, tandanya ayah harus segera ke kantor. Aku cemburu dengan
pekerjaannya, waktu ayah lebih banyak dengan pekerjaannya sedangkan denganku
hanya bisa satu bulan sekali. Ibu mengelus kembali rambutku dengan mengukir
pelangi di bibirnya. Indah sekali aku senang ketika melihat ibu tersenyum,
semoga senyum ibu akan selalu tetap abadi sekarang, esok dan sampai kapan pun.
Suara ambulans meraung-raung dan akhirnya hinggap di Rumah
Sakit Jaya Sentosa. Sore itu rasa sesak di dadaku terasa menjepit jantungku,
sakit sekali. sakitku bertambah saat mataku dengan samar-samar melihat ada
sungai kecil yang mengalir di sudut mata ibu. Sampai akhirnya ibu tak terlihat
lagi, karena gelap menguasai mataku dan akhirnya aku roboh.
Suara mesin pembantu detak jantungku membangunkanku dari
tidur, air mataku tak bisa aku tahan. Bagaimana tidak, bidadari dalam hidupku
tertidur di kursi dengan posisi kepala yang berada tepat di tanganku, ibu..
ingin sekali aku melepas selang-selang yang ada di tubuhku, aku ingin
membuktikan bahwa aku sehat, tapi semua sia-sia rasa sakit sudah mengikatku.
“Nak, putriku sayang kamu sudah bangun?” Ibu terbangun dari
tidurnya dan menghapus air yang masih bersisa di matanya. “Bu, putri mau
pulang, putri sehat kok bu.” “Putri, kamu itu harus istirahat. kata dokter
besok kalau detak jantung putri sudah stabil putri bisa pulang.” Ibu tersenyum.
“Bu, ayah mana?” “Ayah sedang di jalan nak.”
Aku melirik jam, ya Allah sudah menunjukkan jam 01.00 malam.
semoga ayah baik-baik saja di jalan. suara telepon genggam ibu berbunyi
terlihat tulisan “My Husband Call”. Ibu memperlihatkan telepon genggamnya
padaku, aku tersenyum dan menyuruh ibuku untuk segera mengangkat telepon dari
ayah.
“Assalamualaikum ayah, ayah masih di mana? Putri sudah sadar
yah.” “Maaf.. kami dari pihak kepolisian. memberitahukan bahwa saudara Lukman
telah mengalami kecelakaan, dan saudara Lukman telah meninggal di lokasi.
sekarang jasad akan dilarikan ke rumah sakit Jaya Sentosa…” Telepon genggam ibu
terjatuh. Dan ibu mendekatiku.
“Ibu kenapa? ayah kenapa? masih di mana bu?” “Putri.. ayah
sebentar lagi sampai nak.” Ibu mengecup keningku, terasa air mata ibu menetes.
“Ibu kenapa?” “Tidak Put, ibu tidak apa-apa. Ibu mau kamu sembuh yah nak.” Ibu
kembali mengecup kening dan tanganku. “Putri besok sembuh kok bu.” Aku
tersenyum “Ibu ke dokter dulu yah nak, sekarang kamu tidur lagi.” “Iya bu..”
Kain itu putih, dingin, beku dan tidak ada lagi kehidupan di
bawahnya. terlihat wajah Super Hero yang mengukir pelangi pada bibirnya
walaupun luka di kepalanya sangat parah. Itu jasad ayahku, Super Heroku. Isak
tangis Ibu memenuhi ruangan yang tak bernyawa itu, adik dan kakakku pun
merangkul ibu yang tak kuasa menerima cobaan pahit. besok pagi adalah acara
pemakaman ayahku, sedangkan aku di kamar yang tak tembus pandang keluar,
sendiri dan tak tahu kejadian apa yang menimpa di luar sana.
Gema pemanggil umat untuk melaksanakan kewajibannya terdengar
sangat jelas. aku terbangun dari tidurku, aku melihat di sekitarku. aku
bertanya dalam hati “Ke mana bidadari yang selalu menemaniku?”. Aku berusaha
untuk bangkit, dan keluar kamar sendiri dengan tangan yang memegangi teman
sejatiku, infus yah itu teman penyambung hidupku. sesampainya di koridor Rumah
Sakit, nampak adikku menangis sambil memanggil-manggil ayah. Aku
menghampirinya, dan aku mulai bertanya kenapa? Di mana? dan siapa?
“Kenapa dek? Di mana ibu? dengan siapa kamu ke sini? ayah
mana?” Itu pertanyaan yang terlontar dari mulutku. “Kak.. ayah kak..!” Adikku
terus menangis dan memelukku. “Ayah kenapa? mana ibu?” Adikku hanya menunjuk ke
Ruang Jenazah. Aku tersentak kaget, dalam benakku beberapa pertanyaan
terlontar. Siapa yang meninggal? Di mana ayah? Di mana ibu? kenapa aku
sendiri?, dengan langkah kaki yang bergetar dan sesak yang menyelimuti
jantungku aku berusaha untuk menuju ke ruang jenazah itu. Terlihat olehku jasad
yang tak asing lagi untukku, sekarang tubuh itu tak hangat lagi, membisu, beku
dan pucat. Spontan aku berteriak. “Ayah…!” aku berlari mendekati jasad ayahku
yang sedang disiram bayu Ibu kaget dengan teriakanku, aku langsung dirangkul
oleh ibuku. ibu hanya menangis dan menciumi pipiku. Aku marah, sedih, dan
kecewa saat itu. aku bertanya pada ibu, kenapa aku tidak diberi tahu dari
malam? kenapa aku baru tahu sekarang?, kalau saja malam itu aku tahu akun akan
menemani ayah untuk terakhir kalinya. “Put.. kamu harus sabar nak, kamu harus
kuat, kamu harus sehat nak. Sebelum ayah meninggal, Ayah menitipkan pesan
untukmu nak lewat polisi. Pesan dari ayahmu Putri harus sembuh, Putri harus
jadi jagoan ayah.” ibu kembali mengecup keningku “Tapi bu, ayah sudah tidak
ada!” aku kembali menangis dan memeluk ibu sambil pandanganku tidak lepas dari
sosok ayah yang kini telah pergi.
Rasa sakit di dadaku semakin menjadi, ketika ayahku diturunkan
dari ambulans, tangisku memenuhi seluruh relung pada jiwaku. Aku ingin mengecup
kening ayah untuk terakhir kalinya. Ketika semua orang akan memasukan ayah ke
Rumah terakhirnya, aku berteriak.
“Stop!!!” Aku berlari menghampiri jasad yang sangat aku
sayangi. “Putri, biarkan ayahmu tenang nak. putri sayang ayah kan?”Ibu berusaha
menenangkanku “Iya bu, putri sayang ayah. Tapi sebelum ayah benar-benar pergi
izinkan putri mengecup kening ayah bu.” Aku memelas kepada ibu “Kalau dengan
ini putri bisa ikhlas ibu izinkan kamu nak.” Ibu melepaskan pelukannya.
Aku tersenyum dan membuka kain yang menutupi wajah ayah. aku
mengecup kening ayah, saat aku mengecup kening ayah, aku menahan air mataku
yang tidak boleh sedikit pun mengenai tubuh ayah. Dadaku kembali sesak
jantungku seakan berlari ke masa lalu, ayah yang tersenyum kepadaku, ayah yang
selalu lelah ayah yang selalu menghiburku, akhirnya aku serasa terbang dan
semua menjadi gelap. sayup aku mendengar tangis dan suara saudara-saudaraku
yang memanggilku. Aku terbangun karena ibu memanggilku.
“Alhamdulillah nak, putriku sayang sudah bangun. Kamu harus
kuat nak.” Ibu memeluk dan mencium pipiku.
Aku tersenyum dan aku meminta kepada ibu untuk tersenyum.
karena aku senang ketika aku melihat ibu tersenyum. Aku sudah pernah berkata
kalau aku tidak mau senyum ibu hilang hari ini esok, dan sampai kapan pun. ibu
tersenyum dan aku merasa sangat lelah dan ingin memejamkan mataku untuk waktu
yang tak pernah akan membukakan mataku lagi.
Hari itu aku senang bisa mengecup kening ayah dan melihat ibu
tersenyum. Dan hari itulah Aku dan Ayahku harus mengakhiri episode kehidupan.
Aku sayang ibu dan ayah.
Karangan
: Lasmi Sopia Sari
Tidak ada komentar:
Posting Komentar