Translate in your language

Sabtu, 04 Oktober 2014

Terlambat



Buru-buru aku menarik Trolley Bag-ku, tas selempang besarku ternyata mengganggu langkah kakiku. Suasana ribut dan penuh sesak. Aku menghela nafas panjang, mencoba mencari udara segar. “Mama, Vio haus…,” Tangan kiriku ditarik perlahan. Aku tersenyum menatap wajahnya dan menghapus keringat di keningnya. “Pelan-pelan minumnya,” Aku menunduk dan membuka botol minumnya.
Aku menarik tas selempangku dan meletakkannya di atas Trolley Bag. Kugendong Vio dalam pelukanku. Dia menyandarkan kepalanya di bahuku. Delay berjam-jam di Soekarno Hatta dan cuaca yang lagi tidak bagus membuat perjalanan terasa melelahkan.
Bandara Supadio Pontianak, sudah hampir lima tahun sejak kejadian itu. Selamat datang kembali dan semoga semuanya tetap menyenangkan.
Dulu aku pergi meninggalkan kota ini setelah kalah. Kalah melawan siapa? Entahlah, aku cuma merasa seperti seorang pecundang. Ya, aku memang pengecut dan terlalu mudah menyerah. Setelah sekian lama aku sadar, ini semua tidak ada gunanya. Buat apa aku bersembunyi dan melarikan diri seperti ini. Toh, sekarang aku sudah punya kehidupan sendiri.
Rasanya ke pulanganku kali ini juga menunjukkan kekalahanku lainnya. Aku pergi karena kalah, kembali juga karena kalah. Tidak! Kali ini aku bukan kalah. Buktinya aku malah merasa lebih baik.
Derit suara roda dan riuh suara orang-orang bercampur satu. Aku kewalahan menarik Trolley Bag dengan Vio di gendonganku, dia sudah setengah tertidur. Aku menghentikan langkahku di depan pelataran bandara.
Sejenak kuhirup udara yang ada di sekelilingku. Aroma udara ini sudah lama hampir kulupakan. Aroma hujan bercampur aroma tanah. Dadaku terasa sesak. Kuhembuskan nafas, membuang semua beban yang terus menari-nari di kepalaku.
Seorang supir taksi menghampiriku, aku menyebutkan tempat tujuanku. Si supir mengangguk dan kemudian membantuku membawa tasku. Aku duduk di belakang supaya bisa membaringkan Vio, dia sudah nampak kelelahan. Aku menciumnya sekilas. Kuambil boneka Spongebob kesukaannya sebagai bantal dan membiarkan dia tertidur di pahaku.
Hujan rintik-rintik masih mengiringi sepanjang jalan. Aku termenung sambil melihat keluar. Jantungku berdegub dan terasa sulit bernafas. Aku menarik nafas panjang, semuanya pasti bakal baik-baik saja. “Mama, bukain es krimnya,” Rengek Vio. Aku menoleh sekilas. “Sebentar ya, sayang. Tunggu di lampu merah,”
Ini hari pertamaku membawa Vio mengelilingi kota Pontianak. Dari pagi dia sudah merengek-rengek minta jalan-jalan, tidak peduli kakeknya yang membujuk akan membawanya ke tambak udang nanti sore. Yang dia mau, harus pagi ini.
Mobilku melintasi jalan Sultan Abdurrahman. Seperti pagi di lima tahun yang lalu, jalan ini selalu macet jika pagi. Sesaknya jalan karena pekerja kantoran dan anak-anak sekolah berebutan menguasai jalan.
Aku mengelus rambut Vio perlahan. Rambut ikal Vio terasa lembut di tanganku. Satu hal yang membuat Vio nampak berbeda denganku, hanya rambutnya.
Aku memiliki rambut hitam, tebal dan lurus, sedang rambut Vio agak kemerahan, tipis, dan bergelombang. Kata orang, Vio mirip Nugraha. Tapi aku selalu menyangkal, lihatlah matanya, hidungnya, mulutnya, semuanya mirip aku. Bahkan dia juga cerewet dan keras kepala sepertiku. “Besok beli yang rasa stroberi ya, ma,” Kata Vio dengan nada cadelnya. “Tadi kenapa nggak ambil dua,” “Nggak mau, hari ini Vio ingin makan yang cokelat dulu. Besok baru yang stroberi,” Katanya lagi. Aku tertawa mendengar perkataannya.
Vio bernyanyi mengikuti alunan lagu yang keluar dari speker mobil. Entah lagu apa yang dinyanyikannya, yang pasti bisa membuat aku tersenyum menahan tawa. Setelah semua hal berat yang telah kulalui, kurasa Vio-lah yang menguatkanku.
Tiba-tiba sebuah hentakan keras dari belakang membuat aku terbentur ke depan. Kepalaku mendadak pusing. Aku baru tersadar ketika mendengar jeritan Vio. Vio terjatuh ke bawah jok. Es krim yang tadi dipegangnya sudah berlepotan di kursi.
Aku menarik Vio perlahan, tapi tangisnya makin kencang. Ya Tuhan, badanku lemas seketika. Kening Vio berlumuran darah. Aku menjerit tertahan, suaraku tidak bisa keluar.
Aku keluar dari mobil sambil menggendong Vio yang terus menangis kesakitan. Orang-orang di sekeliling menghampiriku. “Cepat bawa ke rumah sakit,” Teriak orang-orang.
Aku memeluk Vio sambil tanganku menutup lukanya, berharap darah yang keluar bisa berhenti. Aku mengikuti orang-orang yang membawaku ke sebuah mobil. Panik menyergapku. Entah kenapa aku malah menangis. “Tahan ya, sayang,” Bisikku pelan. Tangis Vio tidak sekeras tadi, tapi mukanya nampak kesakitan. Aku terus menerus mencium pipinya.
Sampai di rumah sakit, perawat-perawat nampak tanggap. Mereka segera menghampiriku dan mengambil Vio dari gendonganku. Aku terus mengikuti mereka sampai ruang UGD. “Ibu tunggu di sini ya,” Kata salah seorang perawat. Seluruh tubuhku terasa dingin. “Sudah, jangan panik,” Seseorang menepuk pundakku perlahan. Aku tersentak kaget dan menoleh ke sampingku. O iya, rupanya orang yang membawaku dan Vio ke rumah sakit tadi. Saking paniknya, aku sampai lupa mengucapkan terima kasih. “Makasih buat bantuannya…,” Kata-kataku terhenti mendadak. Lidahku tiba-tiba kelu. Seluruh tubuhku terasa gemetaran. Kenapa harus dia?! “Kamu baik-baik aja kan?” Tanyanya sambil terus menatapku. “Dia hamil,” Kata Nino lirih. Suaranya hampir tidak terdengar. Rasanya sudah tidak ada ruang buatku bernafas, dadaku terasa sesak. “Tapi aku berani sumpah, aku dijebak. Ini tidak seperti yang kamu pikirkan,” Mukaku terasa panas, air mata perlahan mengalir dari mataku. Layar laptop di depanku kelihatan kabur. Aku menatap nama-nama undangan yang ada di layar, rasanya ingin kuhancurkan undangan yang berserakan di sekelilingku. Aku marah pada Nino, aku marah pada keadaan. “Terus apa guna semua ini,” Aku menghamburkan beberapa undangan yang ada di hadapanku. Ini bukan yang aku mau. Satu bulan lagi, undangan sudah dicetak, gedung sudah disewa, baju tinggal Fitting, semuanya hampir selesai. Kenapa hal seperti ini harus terjadi. “Kamu bakal tetap nikah kok, tapi bukan denganku,” Kataku menahan amarah dan sedih yang tidak bisa aku ungkapkan lagi. “Na, aku minta maaf. Sumpah, aku juga korban. Aku bakal buktikan kalau bukan aku yang hamilin dia,” Kata Nino. Saat itu juga aku merasa jijik melihat Nino. “Nggak perlu, aku sudah nggak percaya sama kamu. Mungkin jodohmu itu bukan aku. Jadi terimalah,” ] “Na, kamu baik-baik aja kan?” Aku tersentak. “Ya, baik-baik aja kok. Kamu apa kabar?” Tanyaku sambil berusaha tersenyum. Sudah lima tahun berlalu, sebaiknya saat inilah kulupakan semua yang pernah terjadi. “Seperti yang kamu lihat,” Jawab Nino sambil tersenyum juga. Aku menatap Nino sekilas, dia banyak berubah. “Kamu gemukkan ya,” Kataku. Nino cuma tersenyum. “O ya, suamimu mana?” Tanyanya. Sesaat aku terdiam. “Ng… ada kok,” Sahutku singkat. Apa aku juga harus bertanya di mana istrinya, di mana wanita yang merebut dia dari aku, di mana wanita yang sudah membuat aku hampir putus asa dengan kehidupanku.
Seorang perawat membuka pintu UGD. Aku bergegas menghampirinya. “Lukanya sudah dijahit, bu. Setelah ini langsung ambil obat ke apotek ya, bu,” Kata perawatnya. Aku mengangguk dan mengucapkan terima kasih.
Vio terbaring dengan kening diperban. Dia langsung berteriak memanggilku. “Mama, sakit,” Rengeknya. “Vio kan anak mama yang paling hebat, nggak boleh menangis ya,” Aku mengelus rambutnya perlahan. “Vio tunggu di sini dulu, mama mau ambil obat dulu ya,” Kataku lagi. Vio menggeleng dan menahan tanganku. “Sama om aja mau?” Nino tiba-tiba di sampingku. Lama Vio menatap Nino. Dan ajaib Vio mengangguk sambil tersenyum. Tangannya disorongkan, tanda minta digendong. Nino mengendong Vio sambil mengajaknya bercanda.
Vio bukan anak yang pemalu, tapi dia jarang sekali mudah akrab dengan orang yang baru dikenalnya. Sama sepertiku, yang selalu waspada dengan orang asing. Tapi kali ini sepertinya berbeda.
Aku menatap Vio yang ada digendongan Nino, rasanya ada yang bergetar di hatiku dan mataku mendadak terasa panas. “Ayo aku temanin ambil obatnya,” Kata Nino. Aku tidak tahu apa perasaan ini. Aku senang Vio bisa cepat akrab dengan Nino, tapi… entahlah.
Mataku kuarahkan ke sekeliling. Nino dan Vio tidak kelihatan. Beberapa saat setelah menemani aku antre di apotek, Vio merengek ingin pipis. Sampai aku selesai antre, mereka berdua tidak kelihatan. Entah kenapa aku jadi panik, takut Nino membawa pergi Vio.
Sekelebat bayangan muncul di pikiranku. Jeritan Vio, teriakan amarah Nugraha, dan tangisanku. Masih lekat sekali di ingatanku. Malam itu saat Nugraha membawa Vio pergi, aku bisa gila seandainya Vio tidak bisa kembali padaku. “Mama….!” Teriakan Vio menyadarkanku sekaligus membuatku lega. “Sudah?” Tanya Nino. Aku mengangguk. “Kok es krim lagi?” Tanyaku pada Vio. Dia terus menjilat es krimnya. “Kan yang tadi nggak sempat dimakan,” “Sudah bilang makasih belum sama om Nino,” Vio mengangguk sambil terus menjilat es krimnya.
“Antarkan kami ke tempat tadi aja,” Kataku pada Nino. Aku baru ingat mobilku kutinggalkan begitu saja tadi.
“Mobilmu biar nanti aku yang urus, jangan terlalu dipikirkan,” balas Nino. Aku mengambil Vio dari gendongan Nino dan kemudian membuka pintu mobil Nino.
“Violin Victoria Farina, mau ke mana kita sekarang?” Kata Nino sambil mengelus pipi Vio. Vio cekikikan. Aku menatap Vio dan Nino bergantian, rupanya mereka sudah akrab. Dan entah kenapa dadaku terasa berdebar, antara sakit dan bahagia. “Ke rumah om. Kan tadi sudah janji mau nunjukin kelinci yang gede tuh,”
Hampir saja aku tertawa mendengarnya. Kelinci-kelinci itu. Dulu aku yang paling rajin mengurus kelinci Nino. Aku masih ingat, bahkan ada satu kelinci yang dinamakan sama dengan namaku. Tiba-tiba aku tersadar, semua itu cuma masa lalu. “Kita pulang dulu ya, sayang. Nanti kapan-kapan baru main ke rumah om Nino. Vio istirahat dulu, nanti lukanya sakit lagi Loh,” Kataku dengan nada cemas. Jangan sampai keluarga Nino melihatku, apalagi istrinya. Mereka orang-orang yang paling tidak mau aku temui. “Nggak mau…! Nggak mau! Pokoknya Vio mau lihat kelinci,” Vio menjerit setengah menangis. Nino menatapku. “Nggak Vio, kita harus pulang dulu,” Bujukku lagi. Vio menjerit makin keras. “Iya, tapi sebentar aja ya,” Kataku akhirnya. Vio tersenyum, begitu juga dengan Nino. Kenapa dia tidak melarang aku datang ke rumahnya? “Makasih mama! Mama baik deh,” Vio mencium pipiku sekilas. Aku jadi serba salah. Apa tanggapan keluarga Nino kalau tiba-tiba aku datang? Bagaimana dengan istrinya, anaknya?
Aku masih hafal sekali jalan menuju rumah Nino. Dulu, jalan inilah yang hampir tiap hari aku lalui. Dadaku terasa sesak ingat ini semua. “Sudah sampai,” Kata Nino. Vio menjerit-jerit senang, sepeti lupa dengan sakitnya. “Aku tunggu di sini aja ya. Kalian nggak lama kan?” Kataku pura-pura sibuk dengan handphone. “Ayo, ma!” Vio menarik tanganku. “Kata om Nino kelincinya baru punya anak,” Kata Vio lagi. “Ayo, nggak apa-apa kok,” Nino juga ikut mendesakku. “Nino, Please…,” Rasanya aku sudah hampir nangis.
Seseorang tiba-tiba muncul dari rumah Nino. Mamanya Nino! Melihatku, mamanya bergegas menghampiriku. “Nana, apa kabar? Sudah lama banget kita nggak ketemu ya?”
Mau tidak mau aku keluar dari mobil dan menyalami tante Hani. Rasanya kalau bisa aku ingin menghilang aja sejauh mungkin atau tenggelam saja ke dasar bumi. “Aduh, tante kangen banget sama kamu,” Tante Hani memelukku. Aku bingung mau bicara apa. Dulu, aku selalu punya bahan pembicaraan jika bersama tante Hani. Kata Nino, kami sudah mirip ibu dan anak. Kali ini, aku cuma bisa membisu. Rasanya sulit sekali menyatukan jarak yang sudah terlanjur aku buat. “Ini anakmu? Cantiknya, mirip mamanya ya. “Namanya siapa, sayang?” Tante Hani menghampiri Vio. “Vio,” Jawab Vio singkat. Matanya sudah jelalatan mencari kelinci yang dibilang Nino tadi. “O ya, ayo masuk. Tante sendirian di rumah. Om lagi dinas ke Semarang,” Tante Hani menarik tanganku. “Lihat kelinci, om!” Nino membawa Vio ke kebun belakang. Mau tidak mau aku ikut. Tante Hani sudah masuk ke rumahnya.
Vio menjerit-jerit senang ketika melihat bayi-bayi kelinci yang lagi menyusui induknya. Aku cuma diam. Rasanya aku tidak bersemangat dengan keadaan seperti ini.
Mataku kuedarkan ke sekeliling. Kenapa sulit sekali menghirup udara segar dengan keadaan seperti ini, seperti ada yang tersekat di saluran pernafasanku.
Aku membisu sambil memikirkan kata-kata untuk memulai pembicaraan dengan Nino. Entahlah, sepertinya hati kecilku merayakan pertemuanku lagi dengan Nino, tapi pikiranku berkata lain. Mengingat semua luka yang pernah aku rasakan, sepertinya Nino tidak berhak mendapat perlakuan baik dari ku. Ternyata, aku belum bisa memaafkan Nino. “Istrimu mana?” Akhirnya kata-kata itu keluar juga. Nino menatapku sambil tersenyum. Aku memalingkan muka, aku tidak suka dengan senyumannya. “Mau kenalan?” Tanyanya. Aku diam. Dalam hati aku memaki diriku sendiri, kenapa aku selalu menyakiti diri sendiri. “Aku belum menikah, Na,” Kata Nino perlahan. Aku menatap Nino tidak percaya. “Beberapa saat setelah kamu pergi, aku akhirnya bisa membuktikan kalau anak yang dikandung Karin bukan anakku. Malam itu aku memang mabuk, Karin juga. Pacar Karin-lah dalang semua ini. Dia memasukkan Karin ke kamar yang sama denganku. Aku tidak tahu apa maksudnya. Untunglah ada beberapa teman Karin yang mau jadi saksi kalau ini semua kerjaan pacarnya Karin. Setelah semuanya jelas, kamu sudah pergi,” Air mataku perlahan jatuh. Kenapa waktu harus mempermainkan seperti ini? “Sayang ya, sepertinya aku terlambat,” Kataku pelan, hampir tidak terdengar. “Kamu nggak pernah terlambat buatku, Na,” Nino menggenggam tanganku. Sepertinya jantungku berhenti mendadak. Aku menatap Vio yang terus berbicara dengan kelinci-kelinci yang ada di dalam kandang. “Aku sudah menikah, Nino,” Suaraku melemah. “Ya, aku tahu. Bahkan sampai rencana kepulanganmu juga aku tahu. Juga, tentang mantan suamimu,” Aku tersentak. “Kamu tahu semuanya?” “Sebenarnya waktu tahu kamu di Jakarta, aku sudah mau menyusul. Tapi kuurungkan waktu tahu kamu sudah menikah. Saat itu kupikir mungkin benar yang pernah kamu katakan kalau kamu bukan jodohku. Tapi sekarang aku berpikir lagi, waktu memang mempermainkan kita, tapi aku yakin Tuhan punya rencana buat kita,” “Om Nino, Vio minta anak kelinci yang belang-belang cokelat tuh. Boleh ya, om,” Tiba-tiba Vio datang dan bergelayut manja di lengan Nino. “Om kasi semuanya deh buat Vio,” “Benaran?” Wajah Vio langsung berbinar. “Tapi Vio sama mama harus tinggal di sini,” Kata Nino. Vio menatapku. Aku cuma tersenyum membalasnya. “Hore…!” Teriak Vio senang dan kembali ke kelinci-kelincinya lagi.
Nino menggenggam tanganku lebih erat. Aku sudah tidak punya kekuatan untuk membalas genggaman tangannya. Bukan, aku bukan tidak suka dengan genggaman tangannya. Aku bahkan terlalu bahagia sampai lupa betapa sebenarnya lelaki inilah yang paling aku inginkan dari dulu.

Karangan : Eva Kurniasari

Tidak ada komentar:

Posting Komentar